Jumat, 23 September 2011

ASMA dlm KEHAMILAN


ASMA DALAM KEHAMILAN
PENDAHULUAN
Asma terdapat 3,4 – 8,4 % pada wanita hamil dan gangguan nafas sangat sering terjadi pada wanita hamil. Perjalanan asma selama kehamilan sangatlah bervariasi bisa tidak ada perubahan, bertambah buruk atau malah membaik dan akan kembali ke kondisi seperti sebelum hamil setelah tiga bulan melahirkan(2)(9). Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seseorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan muncul pada usia kehamilan 24 – 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pada asma yang tidak terkontrol selama kehamilan akan mempunyai efek yang serius baik bagi ibu maupun bagi janin. Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan pre-eklampsia, eklampsia, perdarahan vagina dan persalinan premature, sedangkan komplikasi terhadap bayi adalah intra uterine growth retardation, bayi premature dan meningkatkan kemungkinan resiko kematian perinatal. Oleh karenanya pasien hamil dengan asma harus dianggap sebagai pasien dengan kehamilan resiko tinggi. Tujuan penatalaksanaan pasien asma dalam kehamilan harus meliputi : pencegahan eksaserbasi akut, mengontrol symptoms, mengurangi inflamasi saluran nafas, memelihara fungsi paru rata – rata mendekati normal.
DEFINISI
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat
PATOFISIOLOGI
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostaglandin D2 dan leukotrienes. Karena prostaglandin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.
PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table berikut dibawah ini
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1
(% predicted)
Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori. Akibat penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiapa awal derajat tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya. Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.
3. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC).
4. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
a. Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam.
b. Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.
c. Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan
PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah.
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.
Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.
EFEK PADA FETUS
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output
Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan membahayakan fetus.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma.
PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA
Perubahan fisiologis selama kehamilan
Tujuan utama pemeliharaan pada wanita hamil penderita asma adalah oksigen yang adekuat untuk ibu dan janin terutama saat proses kelahiran.
Endocrine
Terjadi perubahan pada level estrogen, progesterone dan kortisol. Dimana hormone estrogen meningkat tinggi pada trimester pertama, peningkatan estrogen merangsang pembentukan sel darah merah terjadi kenaikan volume darah untuk memperdarahi uterus dan janin.
Progesteron meningkat pada trimester pertama, peningkatan ini menstimulasi pusat pernafasan dan relaksasi otot polos vascular. Namun progesterone tidak menyebabkan relaksasi otot polos bronchus.
Kardiovaskular
Volume darah meningkat sebagai respon dari peningkatan plasma volume dan sel darah merah. Peningkatan sel darah merah tidak sebanyak volume plasma yang mengakibatkan anemia.
Kardiak Output meningkat dan denyut jantung bertambah 10 -20 denyut per menit. Range perubahan kardiak output ini berkisar 30-60% yang artinya perubahan kardiak output ini juga dipengaruhi posisi.
Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan juga mengalami perubahan selama kehamilan baik anatomi dan fisiologi. Perubahan ini meliputi penyesuaian dinding dada, kenaikan diafragma, progesterone menginduksi pusat pernafasan. Perubahan ini menyebabkan perubahan ukuran fungsi dari paru – paru(3). Peningkatan nilai Pa O2 (100 – 105 mmHg) dan penurunan Pa CO2 (32 – 34 mmHg) adalah akibat dari peningkatan ventilasi semenit selama kehamilan. Peningkatan ini karena efek dari peningkatan progesteron yang menstimulasi kontrol pusat pernafasan. Untuk mempertahankan pH oleh karena respiratori alkalosis dilakukan kompensasi ginjal dengan peningkatan ekskresi bikarbonat. Perubahan ini mempunyai arti klinis yang penting. Nilai Pa O2 70 mmHg dan nilai Pa CO2 35 mmHg atau lebih menandakan asma yang lebih berat pada wanita hamil dibandingkan penderita asma yang tidak hamil dan menandakan adanya gagal nafas selama kehamilan. Nilai abnormal spirometri selama kahamilan harus dihubungkan dengan kelainan paru bukan karena kehamilan. Sesak nafas atau rasa berat bernafas pada saat istirahat atau bekerja terjadi pada 80 – 90% wanita hamil dengan umur kehamilan 30 minggu. Mekanisme ini belum jelas tapi kemungkinan karena peningkatan terhadap pusat pernafasan. Adalah sangat penting untuk membedakan antara proses fisiologis sesak nafas pada kehamilan dan sesak nafas patologis.
PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA
Kehamilan mempunyai efek yang bervariasi terhadap beratnya asma. Asma selama kehamilan dapat membaik pada 1/3 wanita hamil penderita asma, tidak berubah pada 1/3 wanita, dan memburuk pada 1/3 sisanya. Faktor yang menyebabkan terjadinya variasi derajat asma selama kehamilan meliputi peningkatan sirkulasi kortisol bebas, penurunan irama bronkomotor dan peningkatan konsentrasi adenosin monofosfat di dalam plasma. Perubahan ini, dalam keadaan normal dapat menyebabkan perbaikan derajat asma, tetapi dengan adanya faktor-faktor lain dalam kehamilan seperti paparan antigen janin dan perubahan imunitas seluler, maka keadaan ini dapat memperburuk gejala asma.
Gejala asma akan membaik selama 4 minggu terakhir kehamilan (37 – 40 minggu), mungkin disebabkan peningkatan kortisol bebas dan karena turunnya janin kedalam panggul. Sedangkan gejala yang paling buruk terjadi pada 29 – 36 minggu kehamilan, karena pada saat ini progesteron berada pada kadar tertinggi. Selama melahirkan dan sesudah lahir hanya 10% pasien yang dilaporkan memberikan gejala dan hanya setengahnya yang mendapat pengobatan.
TERAPI
Kesuksesan manajemen asma selama kehamilan membutuhkan kerjasama antara ahli obstetri, bidan, dokter dan perawat khusus asma dan pasien sendiri. Terapi farmakologi asma selama kehamilan tidak mempunyai perbedaan dengan terapi asma pada wanita yang tidak hamil.
Idealnya, selama kehamilan adalah tidak menggunakan terapi obat-obatan terutama selama trimester pertama karena dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital. Edukasi dan pencegahan lebih diutamakan untuk pasien asma dalam kehamilan. Kelainan genetik dan kromosom terdapat pada 25% dari kelainan kongenital. Sekitar 1% dari seluruh kelainan kongenital berhubungan dengan pemakaian obat-obatan. Penyebab 65% kelainan kongenital belum diketahui.
Obat-obatan Spesifik Asma selama Kehamilan.
a. Pengobatan Profilaksis
Beklometason dianjurkan sebagai pilihan kortikosteroid inhalasi selama kehamilan karena pengalaman yang lebih banyak dalam penggunaannya yang telah dipublikasikan. Ini disebabkan karena tidak ditemukannya kelainan teratogenik pada bayi dari ibu hamil yang menggunakannya, walaupun efek teratogenik pada hewan ditemukan. Selain itu, buesonid juga dapat diberikan sebagai pilihan untuk wanita hamil.
b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan kepada pasien asma untuk pengobatan asma berat selama kehamilan. Walaupun demikian kemungkinan terjadinya efek yang merugikan harus tetap diperhatikan. Pada penelitian hewan ditemukan adanya efek teratogenik berupa oral cleft. Pada suatu penelitian case controle 20.830 bayi dengan kelainan kongenital didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap pemberian kortikosteroid pada wanita hamil yang mendapat bayi dengan kelainan dan yang tidak mendapat kelainan.
Jika membutuhkan kortikosteroid sistemik, dianjurkan pemberian prednison atau metilprednisolon karena preparat ini dimetabolisme di plasenta dan hanya 10% obat aktif yang dapat mencapai janin. Pada penelitian lain dinyatakan bahwa prednison dengan dosis 10 mg selama kehamilan berhubungan dengan berat badan lahir rendah (BBLR), tetapi prednison 5 – 10 mg untuk waktu singkat pada kehamilan kurang dari 24 minggu tidak. Disimpulkan kortikosteroid sistemik hendaklah dipergunakan secara selektif, hanya untuk kasus asma berat dan tidak digunakan secara kontiniu, disebabkan efek samping dari pemberian kortikosteroid sistemik yaitu preeklampsi, prematur, berat badan lahir rendah dan kelainan kongenital berupa oral cleft selama trimester pertama kehamilan.
c. Bronkodilator  :
1. β2 Agonis
Tidak terbukti adanya resiko teratogenik pada penggunaan secara sering inhalasi β2 agonis. Meta-proteronol, terbutalin dan albuterol dilaporkan obat-obat yang paling sering digunakan.
β2 agonis oral secara umum tidak dianjurkan selama kehamilan, karena terbatasnya data selama kehamilan dini, dapat menghambat persalinan pada masa aterm karena efek relaksasi otot rahim dan efek samping dibandingkan penggunaan secara inhalasi. Walaupun demikian jika diperlukan terbutalin direkomendasikan.
Penggunaan salbutamol intra vena dapat menghambat persalinan, keadaan ini tidak terjadi pada pemberian secara MDI atau nebulasi.
Salmeterol termasuk β2 agonis long acting dan belum diteliti secara intensif pada wanita hamil. Walaupun demikian salmeterol dapat dipakai sebagai alternatif pengganti teofilin pada pasien hamil yang tidak dapat dikontrol dengan dosis sedang kortikosteroid inhalasi.
2. Antikolinergik
Contoh dari obat ini adalah ipratropium bromide. Walaupun sedikit pengalaman dengan obat ini, kelihatannya obat ini aman digunakan selama kehamilan. Ipratropium bromide dapat digunakan pada wanita hamil dengan asma yang tidak memberikan respon terhadap terapi dengan β2 agonis. Ini karena obat ini diabsorbsi dengan buruk dengan penggunaan inhalasi dan tidak pernah diketahui menyebabkan terjadinya kelainan kongenital.
3. Teofilin
Penggunaan teofilin tidak berhubungan dengan adanya malformasi kongenital atau kematian janin walaupun dilaporkan 3 kematian bayi dari ibu yang diterapi dengan teofilin menunjukkan kelainan kongenital jantung. Beberapa penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara penggunaan teofilin dengan resiko terjadinya kelahiran preterm, kelainan kongenital dan preeklampsi, sementara penelitian-penelitian lain tidak mendapatkan adanya hubungan.
Kerugian teofilin yaitu :
• Dapat menimbulkan nausea pada awal kehamilan dan gastroesofageal refluks pada akhir kehamilan.
  • Dapat terjadi hipertensi dalam kehamilan dan prematur.
  • Menghalangi persalinan.
• Toksis terhadap neonatus melalui plasenta.
4. Antibiotik
Antibiotik kemungkinan diperlukan untuk pengobatan infeksi oleh bakteri pada penderita asma selama kehamilan. Penisilin, eritromisin dan sefalosporin aman digunakan selama kehamilan
Kategori Frekuensi/Beratnya Gejala Fungsi Paru Tahapan Terapi :
a. Mild Intermittent Ø Gejala < 2 kali per minggu
- Gejala malam < 2 kali per bulan
- Eksaserbasi singkat (hingga beberapa hari)
- Asimptomatik
diantara episode serangan ≥ 80%(Fungsi paru normal diantara serangan) Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
b. Mild Persistent Ø Gejala > 2 kali perminggu tetapi tidak setiap hari
- Gejala malam > 2 kali per bulan
- Eksaserbasi dapat pengaruhi aktifitas ≥ 80%
Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
Inhalasi kromolin
Penambahan inhalasi kortikosteroid jika tidak adekuat
c. Moderate Persistent Ø Gejala setiap hari
- Gejala malam > 1 kali per minggu
- Eksaserbasi mempengaruhi aktifitas
- Gejala terus menerus 60 – 80% Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
Inhalasi kortikosteroid
Penambahan teofilin oral
d. Severe Persistent Ø Aktifitas terbatas
- Gejala malam sering
- Eksaserbasi akut lebih sering < 60% Terapi diatas + Kortikosteroid oral
Penatalaksanaan Asma Akut pada Kehamilan
Serangan asma akut sangat berbahaya dan harus ditangani dengan serius untuk mencegah jatuhnya penderita ke dalam status asmatikus. Data yang diperoleh dari kematian ibu di United Kingdom, tercatat tiga kematian akibat asma dari tahun 1994 – 1996. Status asmatikus dalam kehamilan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan janin yang terhambat, mortalitas ibu dan janin, juga morbiditas janin.
Sangat penting untuk wanita hamil penderita asma untuk tidak terlambat mendapat pengobatan selanjutnya jika terdapat tanda-tanda berikut :
  • Pengobatan tidak memperlihatkan perbaikan yang cepat.
  • Perbaikan tidak menetap.
  • Terjadi perburukan.
  • Episode adalah berat.
  • Terjadi penurunan gerakan janin.
Langkah penatalaksanaan asma akut pada kehamilan :
1. Pemeriksaan terhadap Penderita
Penatalaksanaan asma akut dalam kehamilan dimulai dengan pemeriksaan yang teliti. Dari anamnesa didapat mengenai berapa lama sudah terjadi serangan, apakah ada tanda-tanda infeksi pernafasan, pengobatan terdahulu terutama teofilin dan kortikosteroid, serta riwayat gagal nafas dan intubasi.
Dari pemeriksaan fisik didapat penggunaan otot asesori, pulsus paradoxus > 12 mmHg, tidak dapat berada dalam posisi tidur, pulsasi nadi > 120 kali permenit dan laju pernafasan > 30 kali permenit.
Pengukuran aliran ekspirasi (PEFR atau FEV1) dan analisa gas darah arteri harus didapatkan pada wanita hamil dengan serangan asma akut. (nilai normal PEFR > 200 liter/menit atau FEV1 > 1 liter/menit). Nilai saturasi oksigen < 95% biasanya menandakan PO2 < 60 mmHg. Karena itu jika nilai saturasi oksigen < 95 mmHg maka analisa gas darah arteri harus diperoleh.
2. Terapi Emergensi
Diberikan terapi oksigen 3 – 4 liter/menit dengan nasal cannula untuk mempertahankan Pa O2 > 70 mmHg. Pemberian cairan intra vena yang mengandung glukosa jika pasien tidak hiperglikemi dapat diberikan. Inhalasi β2 agonis (terbutalin 2 mg) adalah pilihan bronkodilator untuk asma akut pada wanita hamil seperti terhadap pasien yang tidak hamil. Pemberian inhalasi dapat diulang sampai 3 kali, dengan jarak 20 – 30 menit. β2 agonis subkutan (terbutalin 0,25 mg) dapat diberikan jika pemberian inhalasi tidak menunjukkan perbaikan. Kortikosteroid parenteral yaitu metilprednisolon harus diberi pada pasien yang sebelumnya diterapi dengan kortikosteroid. Juga diberi pada penderita yang tidak respon terhadap β2 agonis setelah 1 jam pemberian dan menunjukkan obstruksi yang berat (PEFR < 200 liter/menit atau FEV1 <40% nilai prediksi). Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kg BB metilprednisolon setiap 6 – 8 jam.
Status asmatikus dan gagal nafas
Pada asma yang berat dimana tidak respons terhadap terapi intensif setelah 30 – 60 menit dikatagorikan stats asmatikus. Harus diberikan intubasi lebih awal ketika status pernafasan ibu bertambah buruk seperti lemah, retensi kabondiosida dan hipoksemia hal tersebut menandakan harus diberikan ventilasi mekanik.
Penanganan Asma Selama Proses Melahirkan
Penanganan asma yang baik bagi penderita asma selama kehamilan membuat tidak adanya gejala asma selama melahirkan. Pada suatu penelitian oleh ahli asma Kalifornia pada 120 kasus wanita asma yang hamil dan terkontrol baik, terdapat 90% wanita asma yang hamil menunjukan tidak adanya gejala selama melahirkan, 2,2% mengalami serangan ringan dan 0,2% mengalami serangan asma berat.
Mereka yang memperlihatkan gejala biasanya hanya memerlukan inhalasi bronkodilator. Jika respon jelek maka diberikan metil prednisolon intravena. Untuk penderita yang mendapat kortikosteroid secara reguler atau yang sering mendapatkannya selama kehamilan, penambahan kortikosteroid parenteral direkomendasikan untuk stres selama persalinan dan kelahiran yaitu 100 mg hidrokortison intravena sewaktu mulai persalinan dan diteruskan dengan 100 mg intravena setiap 8 jam selama 24 jam atau sampai tidak ditemukan komplikasi. Dianjurkan untuk melanjutkan terapi profilaksis yang biasanya didapat (kromolin, inhalasi kortikosteroid atau teofilin) selama persalinan. Dari data tersebut tidak ada peningkatan induksi persalinan, penggunaan forseps atau seksio sesaria darurat untuk wanita penderita asma, tapi operasi elektif lebih sering. Penderita asma yang sangat berat dianjurkan untuk operasi elektif pada waktu kontrol asmanya baik.
Prostaglandin E2 aman digunakan untuk induksi persalinan dan kontraksi uterus. Penggunaan prostglandin F2α didindikasikan untuk perdarahan postpartum tetapi dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Penggunaannya untuk induksi persalinan dan menstimulasi kontraksi uterus postpartum harus di hindarkan. Sebagai alternatif, oksitosin dapat diberikan karena tidak menyebabkan bronkokonstriksi.
Wanita penderita asma dapat menggunakan semua jenis penghilang rasa sakit selama persalinan, termasuk analgesia epidural. Jika dibutuhkan anestesi, akan lebih baik menggunakan analgesia epidural daripada anestesi umum, karena anestesi umum dapat meningkatkan resiko infeksi paru dan atelektasis.

Tidak ada komentar: